Hukum waris menurut hukum Islam. Sebagaimana terdapat dalam Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Sejalan dengan pengaturan dalam KHI, untuk agama selain Islam berlaku ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”). Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama, menurut peraturan-peraturan berikut ini. [1]
Di samping itu, sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Bagaimana Hukum Hak Waris Anak Tiri?, sebab mewarisi terbatas pada 3 (tiga) sebab saja, yaitu:
1. Sebab kekerabatan (qarabah), atau disebut juga sebab nasab (garis keturunan).
2. Sebab perkawinan (mushaharah), yaitu antara mayit dengan ahli waris ada hubungan perkawinan. Maksudnya adalah, perkawinan yang sah menurut Islam, bukan perkawinan yang tidak sah, dan perkawinan yang masih utuh (tidak bercerai).
3. Sebab memerdekakan budak (wala`).
Jadi pada dasarnya yang dapat menjadi ahli waris menurut hukum Islam adalah orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris, atau memiliki hubungan perkawinan dengan pewaris (suami atau istri pewaris). Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak artikel Bagaimana Hukum Hak Waris Anak Tiri?
Oleh karena itu, yang bertindak selaku ahli waris dari suami kedua si ibu adalah ibu itu sendiri. Ini berarti rumah tersebut adalah milik si ibu. Sebagai pemilik, si ibu berhak melakukan apapun pada barang miliknya.
Ini karena pada dasarnya setiap orang yang mempunyai hak milik atas suatu benda, berhak untuk melakukan tindakan apapun atas benda tersebut. Berdasarkan Pasal 570 KUH Perdata, hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas, berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan.
www.hukumonline.com