Pengertian Hukum Pembuktian
-
- Supomo
Bahwa pembuktian mempunyai dua arti. Pertama, dalam arti luas pembuktian membenarkan hubungan hukum. Misalnya, jika hakim mengabulkan gugatan penggugat. Gugatan penggugat yang dikabulkan mengandung arti hakim telah menarik kesimpulan bahwa hal yang dikemukakan oleh penggugat sebagai hubungan hukum antara penggugat dan tergugat adalah benar. Oleh karena itu, membuktikan dalam arti yang luas berarti memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah. Kedua, dalam arti yang terbatas, pembuktian hanya diperlukan apabila hal yang dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh penggugat. Sementara itu, hal yang tidak dibantah tidak perlu dibuktikan.
Secara singkat, Subekti berpendapat bahwa pembuktian memiliki arti penting atau hanya diperlukan jika terjadi persengketaan atau perkara di pengadilan[1]. Arti penting pembuktian yang dikemukakan Sudikno dan Subekti lebih bersifat universal baik dalam konteks perkara pidana maupun perdata.
Dengan merujuk pada arti kata bukti, yakni sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa, penulis berpendapat bahwa arti penting pembuktian adalah mencari kebenaran atas suatu peristwa[2]. Dalam konteks hukum, arti penting pembutian adalah mencari kebenaran suatu peristiwa hukum. Peristiwa hukum adalah peristiwa yang mempunyai akibat hukum.
Dalam konteks hukum pidana, pembuktian merupakan inti persidangan perkara pidana karena yang dicari dalam hukum pidana adalah kebenaran materil. Kendatipun demikian, pembuktian dalam perkara pidana sudah dimulai sejak tahap penyelidikan untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Pada tahap ini sudah terjadi pembuktian, dengan tindak penyidik mencari barang bukti, maksudnya guna membuat terang suatu tindak pidana serta menentukan atau menemukan tersangkanya.
Dengan demikian, dapat di mengerti bahwa pembuktian dilihat dari perspektif hukum acara pidana. Yakni ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari, dan mempertahankan kebenaran, baik oleh hakim, penuntut umum, terdakwa maupun penasehat hukum, semuanya terkait pada ketentuan dan tata cara, serta penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan yang leluasa sendiri dalam menilai alat bukti dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Terdakwa tidak diperkenankan mempertahankan sesuatu yang dianggap benar, diluar ketentuan yang ditentukan oleh undang-undang.[3]
- Arti dan Karakter Hukum Pembuktian Pidana
- Arti Hukum Pembuktian Pidana
Hukum pembuktian adalah seperangkat kaidah hukum yang mengatu rtentang pembuktian.Menurut hemat penulis,yang dimaksud dengan pembuktian dalam ilmu hokum adalah suatu proses, baik dalam acara perdata,acara pidana, maupun acara-acara yang lainnya, dimana dengan mengunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang disengketakan dipengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang yang dinyatakan itu.
- Karakteristik Hukum Pembuktian Pidana
Adapun empat karakter Hukum Pembuktian yang dikenal dalam hukum pembuktian modern:
- Hukum Pembuktian meliputi hal yang sangat luas. Disini hukum pembuktian meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan pembuktian itu sendiri, dimulai dari tahap pengumpulan bukti, penyampaian bukti samapai ke pengadilan, penilaian terhadap setiap bukti sampai pada beban pembuktian di pengadilan.
- Perkembangan hukum pembuktian sangat berpengaruh bagi perkara yang sedang ditangani dan bukti yang dimiliki. Disini, perkembangan zaman, termasuk perkembagan teknnologi dan ilmu pengetahuan, akan sanagat berpengaruh pada hukum pembuktian. Misalnya, salah satu kasus yang cukup marak dibicarakan dimedia masa Indonesia selama tahun 2010 adalah beredarnya video porno yang diduga mirip dengan Nazriel Ilham alias Ariel, Luna Maya, Cut Tary. Salah satu hal mendasar ketika menetapkan Ariel sebagai tersangka adalah perihal bukti permulaan.
Dalam kasus tersebut untuk menemukan bukti permulaan, kita tidak hanya bisa mengandalkan alat bukti saksi. Selain adegan tersebut direkam dalam ruang tertutup sehingga sulit mendapatkan saksi mata selain mereka, para saksi dalam peristiwa tersebut dalm konteks Hukum Pidana Indonesia berpeluang sebagai pelaku kejahatan. Satu-satunya bukti yang dimiliki adalah rekaman video yang dalam konteks hukum pembuktian yang berlaku universal, rekaman video adalah physical evidance atau juga disebut real evidance.
Dengan hanya bekal rekaman video sebagai physical evidance, polri tidak lagi memerlukan pengekuan baik dari Aril, Luna Maya maupun Cut Tary unutk menyatakan behwa pelaku dalam dalam video tersebut adalah mereka, tetapi cukup mendengarkan keterangan pakar telematika dan ahli reka wajah untuk menganalisis physical evidance tersebut. Pakar telematika diperlukan untuk menentukan keaslian video tersebut dan video tersebut bukanlah rekayasa berikut tanggal pembuatan videonya. Sementara itu, ahli reka wajah diperlukan untuk memastikan bahwa pelaku dalamvideo yang menghebohkan itu benar adalah Ariel, Luna Maya, dan Cut Tary.[4]
- Hukum pembuktian bukanlah sistem yang teratur. Kuat atau lemahnya pembuktian tergantung pada kesesuaian antara ffakta yang satu dengan fakta lain yang dapat dibuktikan dan diyakinkan kepada hakim. Ada kalanya material facts atau fakta-fakta pokok yang harus dibuktikan pada kenyataannya tidak bisa meyakinkan hakim. Maka, dengan sendirinya pembuktian atas fakta tersebut dianggap lemah. Dapat juga fakta yang satu yang harus membuktikan fakta yang lain (factum probandum) terdapat ketidaksesuaian sehingga pembuktian yang demikian juga dianggap lemah.
- Tidak ada satu kesatuan hukum pembuktian yang dapat diterapkan untuk semua proses hukum. Dalam konteks hukum pembuktian di Indonesia, masing-masing lapangan hukum memiliki hukum pembuktian sendiri. Ada hukum pembuktian pidana dan ada hukum pembuktian perdata, bahkan seiring perkembangan berbagai kejahatan, hukum pembuktian pidana memiliki berbagai macam hukum pembuktian tergantung pada kejahatan yang dihadapi. Tindak pidana umum yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP), pembuktiannya mengikuti apa yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP), sedangkan tindak pidana khusus, masing-masing memiliki hukum pembuktian tersendiri seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme dan tindak pidana pencucian uang.
- Dasar dan Sumber Hukum Pembuktian: – Yurisprudensi
Yurisprudensi adalah salah satu yang dikenal sebagai sumber hukum, baik pada negara yang menganut system hokum anglo saxon maupun negara yang menganut system hokum Eropa Continental. Istilah yurisprudensi sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu “yurisprudentia” yang berarti pengetahuan hukum. Di negara yang menganut system hokum Eropa Continental atau civil law, yurisprudensi berarti putusan hakim, sedangkan di Negara-negara common law atau anglo saxon, yurisprudensi berarti sumber hukum.
Pengertian yurisprudensi menurut C.S.T. Kansil,
Yurisprudensi adalah keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai kasus yang sama. Dengan demikian, yurisprudensi adalah suatu keputusan hakim yang diikuti oleh hakim lainnya, merupakan sumber hokum dalam arti formal.Keputusan hakim atau yurisprudensi adalah suatu produk yudikatif, yang isinya berupa kaedah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang bersangkutan atau terhukum. Dengan demikian, keputusan hakim hanya mengikat pada orang-orang tertentu saja dan tidak mengikat secara umum. Jadi, hakim menghasilkan hukum yang berlaku terbatas pada kasus dari pihak-pihak tertentu.
- doktrin
Menurut Bernard Arief Sidharta, istilah lain doktrin adalah ajaran. Ajaran itu juga dapat disamakan dengan doktrin, doktrin ini merupakan tampungan dari norma sehingga dokrin menjadi sumber hukum. Jika kita mengutip pendapat Apeldoorn, maka doktrin hanya bertugas membantu dalam pembentukan norma doktrin itu harus dipindahkan lebih dahulu kedalam norma yang langsung misalnya putusan hakim atau peraturan perundang-undangan, sehingga doktrin itu menjadi sumber tidak langsung dalam penerapan hukum. Menurutnya, ajaran berbeda dengan teori. Suatu ajaran membahas pada satu hal tertentu atau satu pasal tertentu yang lebih kecil dan belum berlaku secara umum. Ketika ajaran tersebut diobjektifkan dan berlaku secara umum maka akan berubah menjadi teori.
Apa yang dikemukakan oleh Bernards Arief Sidharta tentang pemaknaan doktrin, hamper sama seperti yang dikemukan oleh Agell (2002). Dia mengatakan bahwa doktrin dalam ilmu hokum diartikan sebagai “analytical study of law atau “doctrinal study of law” yang bersifat science. “Legal doctrine” adakalanya disebut juga dengan “legal dogmatics”. Kedua istilah ini lazim ditemukan dalam civil law sementara itu di dalam anglo-american istilah legal doctrine maupun legal dogmatics tidak begitu dikenal.
- undang-undang
Undang-Undang/Perundang-undangan (UU) adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama Presiden. Undang-undang memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat untuk konsolidasi posisi politik dan hukum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan tujuan dalam bentuk negara. Undang-undang dapat pula dikatakan sebagai kumpulan-kumpulan prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah, hak rakyat, dan hubungan di antara keduanya.
- Alat-alat pembuktian Pidana
Alat bukti itu sendiri diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu :
- Keterangan saksi
- Keterangan ahli
- Surat
- Petunjuk
- Keterangan terdakwa.
Berikut adalah penjelasan dari Pasal 184 ayat (1) yaitu :
- Keterangan Saksi
Saksi adalah setiap orang yang mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri tentang suatu tindak pidana. Suatu keterangan saksi atau kesaksian dapat dianggap sah dan memiliki kekuatan pembuktian, maka harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :
- Keterangan saksi merupakan keterangan atas suatu peristiwa pidana yang telah saksi lihat, dengar atau alami sendiri, dengan menyebut alasan dari pengetahuannya tersebut (Pasal 1 ayat 27 KUHAP).
- Keterangan satu orang saksi saja tidak cukup tanpa disertai oleh alat bukti yang sah lainnya.
- Keterangan saksi bukan merupakan pendapat atau rekaan yang diperoleh sebagai hasil dari pemikiran.
- Keterangan saksi harus diberikan oleh saksi yang telah mengucapkan sumpah.
- Keterangan saksi harus diberikan atau diungkapkan di muka sidang pengadilan.
- Keterangan saksi-saksi yang berdiri sendiri dapat digunakan sebagai alat bukti apabila keterangan tersebut bersesuaian satu sama lain sehingga dapat menggambarkan suatu kejadian tertentu.25
Seorang Hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan dan mempertimbangkan keterangan saksi-saksi untuk menilai kebenaran atas keterangan beberapa saksi sebagai alat bukti (Pasal 185 ayat (6) KUHAP), hal-hal yang harus diperhatikan oleh Hakim adalah sebagai berikut :
- Kesesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya.
- Kesesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain.
- Alasan saksi dalam memberikan keterangan tertentu.
- Cara hidup dan kesusilaan serta hal-hal lain yang pada umumnya mempengaruhi dapat tidaknya keterangan tersebut dipercaya.
- Keterangan Ahli
Keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus mengenai suatu hal yang diperlukan guna membuat terang suatu perkara pidana demi kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli harus dinyatakan dalam sidang pengadilan dan diberikan dibawah sumpah (Pasal 186 KUHAP). Selain itu, keterangan ahli dapat juga diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum dan dituangkan dalam suatu bentuk laporan (Pasal 133 Jo penjelasan Pasal 186 KUHAP).
- Surat
Surat sebagai alat bukti yang sah harus dibuat atas sumpah jabatan dan dikuatkan dengan sumpah. Pasal 187 KUHAP memaparkan secara luas bentuk-bentuk surat yang bernilai sebagai alat bukti yaitu :
- Berita acara atau surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialamnya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;
- Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
- Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
- Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
- Petunjuk
Pasal 188 ayat (1) KUHAP memberi definisi petunjuk sebagai berikut : “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya .”
- Keterangan terdakwa
Keterangan terdakwa sebagai alat bukti dengan demikian lebih luas pengertiannya dari pengakuan terdakwa, bahkan menurut Memorie van Teolichting Ned. Sv, penyangkalan terdakwa boleh juga menjadi alat bukti. Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan, karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat berikut : a) Mengaku ia yang melakukannya syarat-syarat berikut. b) Mengaku ia bersalah
[1]R. Subekti, Loc.Cit
[2]Eddy O.S Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian., Hlm. 7
[3]Syaiful Bakhri, Op. Cit., Hlm. 27
[4]Eddy O.S Hiariej, “Physical Evidance& Pornografi 2010”, Seputar Indonesia, 9 Juli 2010, hlm. 12
KANTOR Pengacara/Advokat dan Konsultan Hukum
HP. /WA. 0821 3816 0019